JAKARTA – Dalam upaya mencapai swasembada pangan, Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa ketahanan pangan menjadi prioritas utama dalam strategi pembangunan nasional. Dengan target mencapai swasembada dalam empat atau lima tahun ke depan, harapan baru muncul di tengah ketergantungan Indonesia pada impor pangan yang sudah berlangsung lama. Mimpinya adalah memastikan setiap rakyat mendapatkan cukup pangan, sebuah harapan yang menjadi angan-angan bagi negara agraris seperti Indonesia.
Namun, di balik harapan tersebut, muncul sejumlah kekhawatiran terkait pelaksanaan kebijakan ini. Rencana Presiden Prabowo untuk mencapai swasembada pangan melalui korporatisasi pangan, atau lebih dikenal dengan istilah food estate, menimbulkan banyak pertanyaan. Paradigma baru ini, meski menjanjikan, mendapatkan skeptisisme karena masa lalu yang sering kali menunjukkan hasil yang tidak sesuai harapan.
Kebijakan food estate bukanlah konsep baru bagi Indonesia; ia telah ada sejak era pemerintahan Orde Baru. Bahkan di era pemerintahan Presiden Jokowi, food estate juga dijadikan andalan dalam upaya perbaikan sistem pangan nasional. Beberapa proyek food estate telah diinisiasi, tetapi hasilnya seringkali dipertanyakan terkait keberlanjutan dan dampaknya terhadap petani lokal.
Kekhawatiran ini berkaitan dengan potensi konsentrasi kekuatan di tangan perusahaan-perusahaan besar, yang bisa mengabaikan kebutuhan dan kesejahteraan petani kecil serta masyarakat lokal. Dalam konteks ini, perdebatan seputar keadilan dan akses terhadap sumber daya pangan semakin mengemuka. Banyak yang khawatir bahwa korporatisasi pangan dapat menciptakan kesenjangan lebih besar antara perusahaan besar dan petani kecil, menggagalkan tujuan swasembada pangan yang diinginkan.
Dalam merespons tantangan ini, penting untuk memastikan bahwa kebijakan food estate tidak hanya berfokus pada produksi dalam jumlah besar, tetapi juga mengedepankan keberlanjutan, keadilan sosial, serta melibatkan partisipasi aktif dari para petani dan komunitas lokal. Penyediaan insentif yang tepat dan perlindungan terhadap hak-hak petani harus menjadi bagian integral dari strategi ini.
Teknik Mulsa Tanpa Olah Tanah (MTOT)-Program Udara Bersih Indonesia yang baru-baru ini diperkenalkan oleh Yayasan FIELD , dengan ujicoba di area food estate di Kapuas dan Pulang Pisau Kalimantan Tengah ternyata memiliki dampak positif terhadap produksi dan kesehatan tanah dan ekosistem. Pendekatan MTOT tersebut dapat disebarkan dan dimanfaatkan sebagai strategi ketahanan pangan dan swa-sembada pangan.
Ketahanan pangan adalah masalah yang kompleks dan multidimensional, yang memerlukan kebijakan yang bijaksana dan pemikiran yang komprehensif. Dengan tekad dan dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat, pemerintah diharapkan bisa mewujudkan iman yang sudah lama terpendam akan keadilan dan kemandirian pangan di Indonesia. Sejauh mana rencana ini akan berhasil dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan masyarakat luas, masih perlu kita pantau dalam waktu dekat.(hs)