PULANG PISAU (Pilarne1) –Para petani di Pulang Pisau didalam bertani mulai menerapkan teknik Mulsa Tanpa Olah Tanah (MTOT), untuk mengurangi kebakaran, dan meningkatkan produktivitas.
Teknik MTOT Program Udara Bersih Indonesia (UBI) dikenalkan oleh Yayasan Field Indonesia dengan dukungan Earth Care Foundation sejak 2021, untuk mengubah pola pikir dan cara petani dalam mengelola lahan pertanian.
Pak Irjin, salah satu petani dari Pulang Pisau Kalimantan Tengah telah memanfaatkan Kalakai sebagai mulsa untuk menjaga kelembapan tanah, mengurangi penggunaan pupuk kimia, dan memperbaiki kesuburan tanah. Hasil panennya meningkat, tidak membakar dan merusak lingkungan.
Ratusan petani di Pulang Pisau, Kapuas, dan Katingan mulai mencoba Teknik MTOT dengan memanfaatkan jerami, kalakai, dedaunan, atau rumput kering sebagai mulsa untuk menutupi tanah. Dengan metode MTOT, petani tidak perlu membakar sisa tanaman, sampah pertanian bisa dijadikan mulsa untuk menjaga kelembapan tanah, menekan pertumbuhan gulma, mengurangi penggunaan pupuk kimia, dan menyehatkan tanah.
Direktur Eksekutif Yayasan Field Indonesia, Heru Setyoko, menilai pembakaran lahan tidak hanya berdampak buruk bagi lingkungan, tetapi juga merugikan petani dalam jangka panjang.
“Jika petani masih membakar lahan, dampaknya sangat luas, mikro organisme tanah bisa mati, kesuburan tanah berkurang, dan hasil panen akan menurun,” ujarnya saat meninjau lahan di Anjir Pulang Pisau, Sabtu (22/2).
Menurut Heru, penggunaan mulsa dapat memperbaiki kualitas tanah, yang pada akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan hasil panen.
“Mulsa dapat memperbaiki tanah, dan itu sangat penting untuk pertumbuhan tanaman,” jelasnya.
Sejauh ini, penerapan metode ini semakin meluas. Awalnya, mereka mencoba di lahan sekitar 100 meter persegi, dan beberapa kini mulai memperluasnya hingga satu hingga tiga hektare.
“Dari segi kualitas tanah, kondisinya semakin baik karena banyak mikroorganisme yang berkembang di dalamnya. Pertumbuhan tanaman juga lebih bagus, dan hasil panennya meningkat,” kata Heru.
Menurutnya, metode ini memberikan hasil yang cukup signifikan. Di sektor padi, misalnya, produktivitas disebut bisa meningkat hingga 70 persen, sementara di sektor sayuran ada yang mencapai peningkatan 100 persen.
Salah satu petani yang merasakan manfaat metode ini adalah Pak Irjin. Awalnya, ia menanam sayuran seperti tomat, terong, cabai, dan kacang panjang. Namun, keterbatasan modal untuk membeli pupuk dan pestisida, sempat berpikir untuk berhenti bertani. Keadaan itu berubah ketika ia bertemu dengan Pak Sugeng, seorang petani kader UBI, dan Pak Apo, koordinator UBI. Mereka memperkenalkan metode MTOT dan manfaatnya dalam mengurangi biaya produksi serta meningkatkan hasil panen.
Pak Irjin pun mencoba metode ini pada sebagian kecil tanamannya. Ia menutupi tanah dengan mulsa daun Kalakai dicampur dengan cangkang telur. Hasilnya, tanaman yang menggunakan MTOT tumbuh lebih baik dibandingkan yang tidak. Tanaman yang tidak menggunakan MTOT tumbuh lebih lambat dan lebih rentan terhadap hama serta penyakit.
Melihat perbedaannya antara metode konvensional dengan metode MTOT, Pak Irjin pun mulai menerapkan MTOT di seluruh lahannya. Dalam beberapa waktu, lahannya berkembang dari luasan 300 meter persegi menjadi lebih dari 1 hektare. Kini, lebih dari 90 petani di sekitarnya telah mengikuti jejaknya setelah melihat hasil nyata dari metode ini.
Di Desa Sungai Pasah, Kecamatan Selat, Kapuas, banyak petani juga mulai mengadopsi metode ini. Sebelumnya, mereka terbiasa membakar sisa jerami di sawah dengan anggapan dapat menyuburkan tanah. Namun, praktik ini justru membuat tanah semakin kering dan membutuhkan pupuk kimia lebih banyak untuk mengembalikan kesuburannya.
Setelah mengikuti program UBI, mereka mulai memahami manfaat menggunakan sampah pertanian sebagai mulsa. Selain menjaga kelembapan dan meningkatkan kesuburan tanah, metode ini juga mengurangi kebutuhan tenaga kerja untuk membersihkan lahan.
Program ini kini diterapkan di 30 desa di Kalimantan Tengah, tersebar di tiga kabupaten: Kapuas, Katingan, dan Pulang Pisau. Dari tiga wilayah ini, Kapuas disebut mengalami perkembangan paling pesat, terutama dalam peningkatan hasil panen padi dan sayuran.
“Program ini sangat bagus untuk mendukung kemajuan petani, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan suhu yang semakin panas. Karena itu, kami menyarankan penggunaan mulsa yang dapat memperbaiki kondisi tanah di lokasi setempat,” kata Heru.
Robert P. dari Earth Care Foundation mengatakan bahwa pihaknya mendukung program ini karena selaras dengan fokus produksi pangan dan konservasi lingkungan.
“Ya, kami sangat senang karena mitra kami, Field Indonesia, benar-benar telah membuktikan bahwa teknik yang diterapkan ini berhasil. Tentu saja, dengan bimbingan dari para penasihat kami, teknik yang kami perkenalkan di Indonesia, bahkan di lahan gambut, ternyata dapat diterapkan dan diadaptasi oleh petani setempat,” katanya.
Menurutnya, metode MTOT tidak hanya berdampak pada hasil panen tetapi juga membantu mengurangi biaya input, tenaga kerja, dan penggunaan bahan kimia pertanian.
“Dengan metode ini, petani juga tidak lagi menggunakan mulsa plastik, yang sebenarnya turut berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sebaliknya, teknik ini sepenuhnya organik, mampu menahan kelembapan, serta berfungsi sebagai pupuk dalam jangka panjang. Hasilnya adalah tanaman yang sehat dan produktivitas yang lebih tinggi,” ujar Robert.
Teknik MTOT mulai semakin banyak diterapkan oleh petani setempat. Jika hasilnya terus positif, maka akan lebih banyak petani yang akan beralih ke teknik MTOT di masa depan. (HS)
Sumber: Mediakalimantan.news.com